Jumat, 09 November 2018

Antara Jakarta, Macet, dan Kamu

Macet. Namanya juga jakarta. Kota dengan sejuta kendaraan yang melintas berlalu lalang tiada henti ini menimbulkan sekelumit kisah dari para pengendara. Hingar bingar klakson, Pengendara yang tak mau mengalah, Hingga sampai melanggar semua peraturan lalu-lintas yang telah dibuat. Membuat semuanya kacau balau, juga emosi yang terkadang meluap-luap. Terlebih sore tadi, hujan telah mengguyur deras kota ini. Membuat jalanan semakin macet tak karuan. Tak terkecuali dengan aku. Berkendara ditengah kemacetan seperti ini terkadang membuat darah naik. Namun tidak untuk kali ini.

Adalah kamu, penawar emosi yang paling mujarab. Penurun tensi yang paling manjur. Ya cuma kamu yang membuat perasaanku tenang ditengah macetnya kota. Berdua denganmu, menyusuri jalan menggunakan sepeda motor sambil bercengkrama adalah hal yang paling menggemaskan. Kenapa menggemaskan, akan aku beri tahu padamu. Pertama, Ada kehangatan yang tepancar dari tubuhmu. Membuat udara dingin di malam hari yang teramat jahat kala itu tak berdaya sedikitpun. Kedua, Perasaan senang, karena aku tahu, aku jarang sekali bisa dapat moment terbaik untuk bisa jalan bersamamu. Dan yang terakhir, Biarkan aku merasakan kebahagian ini ketika aku tahu arti senyummu itu yang sedikit banyak mendesirkan perasaan aneh dihati. Perasaan ingin  terus menerus bersamamu seutuhnya.

Aku memang terlalu berharap lebih. Padahal aku belum tahu siapa kamu. Dan, apa hak aku untuk bisa memasuki kehidupanmu. Sementara kamu masih dimiliki seseorang yang begitu teramat sayang kepadamu. Dia yang setiap saat menanti kabar darimu. Aku hanya ingin meminta maaf padamu jika memang kedekatanku padamu menimbulkan rasa risih. Aku juga minta maaf jika dengan kehadiranku sekarang membuat hubunganmu dengannya sedikit terganggu. Tapi aku janji kok, Selama dia masih berada dipelukanmu, aku tak akan pernah sedikitpun memintamu untuk berpaling. Percayalah.

Tapi, aku masih boleh kan berteman denganmu. Hanya untuk sekedar melihat senyum kamu. Melihat tawamu. Karena senyum itu pernah menjadi sumber inspirasiku. Sumber kekuatan dari rasa lelahku. Dan membuatku selalu tenang meski aku berada dalam kemacetan yang menyesakkan. Juga rasa nyaman saat aku menunggu dari lelahnya pengharapan.